Roja Rofifah (08151036)
DOSEN PENGAJAR :
Ihsani Merdekawati ST, MT, M.Sc.
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara terluas yang mempunyai jumlah penduduk yang cukup tinggi. Menurut CIA World Factbook Tahun 2015, Indonesia menempati urutan keempat dalam jumlah penduduk terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 255 Juta jiwa atau sekitar 3,5 persen dari seluruh penduduk dunia. Dimana Laju Pertumbuhan (LPP) mencapai 1,49 persen atau tiap tahunnya penduduk Indonedia bertambah sekitar 3-4 juta jiwa. Seiring dengan pertambahan penduduk Indonesia yang semakin pesat, permintaan pembangunan untuk melayani kegiatan masyarakat bertambah. Mulai dari perumahan, fasilitas umum hingga prasarana seperti jalan dan jembatan. Untuk melakukan pembangunan, tidak luput dari anggaran pembiayaan pembangunan tersebut.
Pembiayaan pembangunan merupakan penerimaan atau pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah yang bekerjasama dengan swasta dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk mensejahterakan warganya melalui kebijaksanaan, program atau proyek yang terencana (Aulia, 2015). Salah satunya merupakan pembiayaan pembangunan yang dilakukan pemerintah Kota Samarinda dalam proyek multiyears pembangunan jembatan dengan tujuan meningkatkan pemenuhan infrastruktur dasar untuk membuka akses bagi setiap kegiatan, sebagai stimulan bagi masyarakat agar mampu mandiri dalam meningkatan taraf hidup masyarakatnya.
Jembatan yang dinamakan Jembatan Mahkota (Mahakam Kota) II karena merupakan jembatan kedua yang dibangun di wilayah Kota Samarinda setelah Jembatan Mahakam (atau Mahkota I). Jembatan Mahkota II lebih tepatnya terletak di atas Sungai Mahakam yang akan menghubungkan Kelurahan Sungai Kapih, Kecamatan Sambutan dengan Kelurahan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran di kota Samarinda (Pro Kaltim, 2016). Dalam pembangunannya, panjang jembatan ini direncanakan akan sepanjang 1.428 meter ini digadang-gadang akan menjadi jembatan yang terpanjang di Provinsi Kalimantan Timur (Pro Kaltim, 2015). Jembatan ini dirancang dengan tipe cable stayed, dimana menggunakan kabel sebagai penghubung jembatan dengan menara atau pondasi jembatan untuk menghasilkan jembatan dengan kekuatan penopang yang lebih kuat untuk memikul berat jembatan itu sendiri ataupun lalu lintas yang melewati jembatan tersebut.
Namun, pembangunan Jembatan Mahkota II ini tak seindah dan sekuat rencananya. Proyek pembangunan jembatan ini sudah direncakan dari tahun 2001 dan dimulai pengerjaan tahap I pada tahun 2003, akan tetapi sempat molor selama beberapa tahun hingga pengerjaannya masih berlangsung sampai tahun ini. Padahal kenyataannya Jembatan Mahkota II yang awalnya ditargetkan akan selesai pada tahun 2005. Mangkraknya pengerjaan proyek Jembatan Mahkota II disebabkan berbagai hal, mulai dari penghentian kucuran dan dari APBN, kesalahan transparansi dalam pengelolaan anggaran hingga pengalihan dana untuk proyek lain. Dari sebab-sebab tersebut, dapat disimpulkan bahwa mangkraknya pengerjaan proyek jembatan ini disebaban oleh adanya permasalahan dalam pembiayaan pembangunan jembatan.
Dari latar belakang tersebut, pembiayaan pembangunan pada Jembatan Mahkota II di Kota Samarinda perlu dikaji dan dianalisa lebih lanjut permasalahan pembiayaannya. Mulai dari sumber-sumber dana yang diterima, faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya pembangunan Jembatan Mahkota II hingga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal pendanaan jembatan hingga dirampungkan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari critical review ini adalah
- Siapa saja stakeholeder yang terkait dalam pembiayaan pembangunan pada Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
- Darimana sumber pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
- Apa permasalahan atau kendala dalam pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
- Bagaimana strategi penyelesaian terkait permasalahan yang ada pada pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan critical review ini adalah
- Mengetahui stakeholder yang terkait dalam pembiayaan pembangunan pada Jembatan Mahkota II Kota Samarinda
- Menganalisa sumber pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda
- Menganalisa permasalahan atau kendala dalam pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda
- Menganalisa strategi penyelesaian terkait permasalahan yang ada pada pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II di Kota Samarinda.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pembiayaan Pembangunan
Menurut Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun berikutnya. Sedangkan Menurut Suparlan (1997) (dalam Aulia, 2015), pembangunan adalah serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal yang terwujud dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana mengubah cara-cara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih
Adapun definisi pembiayaan pembangunan menurut Hyman (1993) (dalam Muawanah, 2013) Pembiayaan pembangunan adalah upaya-upaya pemerintah dalam rangka membiayai berbagai pengeluaran pemerintah sesuai fungsi yang diembannya terkait penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, dimana dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah terjadi melalui proses politik dengan berbagai prosedur dan aturan yang berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan pilihan masyarakat.
2.1.2 Sumber-Sumber Pembiayaan Pembangunan
Dalam memperoleh pembiayaan pembangunan, ada sumber-sumber pembiayan yang diperoleh. Berikut sumber pembiayaan pembangunan yang umum digunakan di Indonesia :
1. APBN
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.
Struktur APBN yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia umumnya ada lima, yaitu pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus atau defisit anggaran dan pembiayaan.
2. APBD
Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan masa satu tahun anggaran. Adapun APBD terdiri atas:
a. Anggaran pendapatan, yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain. Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus. Dan pendapatan lain-lain yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
b. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.
c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun anggaran berikutnya
3. Hutang atau Pinjaman Daerah
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pinjaman Daerah, pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, Negara donor melaului pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat. Pinjaman daerah dibutuhkan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan penyediaan fasilitas. Dalam pinjaman daerah pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman pemerintah dan pemerintah daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi 60% dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan.
Dalam melakukan pinjaman, daerah wajib memenuhi persyaratan. Persyarataan Pinjaman daerah, meliputi :
a. Jumlah sisa Pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
b. Rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh pemerintah;
c. Tidak mepunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersal dari pemerintah;
d. Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain;
e. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah;
f. Proyek yang dibiayai dari Obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah.
2.1.3 Strategi Pembiayaan Pembangunan
Dalam melaukan sebuah proyek besar, pemerintah tidak hanya dapat mengandalkan dana dari pusat maupun daerah, sehingga memerlukan bantuan dari pihak swasta baik dari segi pembiayaan hingga pengerjaan proyek. Menurut William J. Parente dari USAID (dalam Muawanah, 2013), Kerjasama Pemerintah dan Swasta adalah suatu persetujuan atau kontrak antara pemerintah dan swasta, di mana pihak swasta melakukan pekerjaan (proyek) pemerintah untuk jangka waktu tertentu, pihak swasta menerima kompensasi untuk melakukan pekerjaan (proyek) pemerintah secara langsung dan tidak langsung, pihak swasta bertanggung jawab atas risiko yang timbul dari melakukan pekerjaan (proyek) , serta fasilitas publik, tanah atau sumber lainnya dapat ditransfer atau tersedia untuk pihak swasta.
2.2 Alasan Pemilihan Isu
Cukup banyak hal yang menyebabkan saya untuk memilih isu pembiayaan pada proyek pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Proyek pembangunan Jembatan Mahkota II yang digadang-gadang akan menjadi jembatan terpanjang se-Kalimantan Timur ini merupakan proyek terlama yang terjadi di Kalimantan Timur. Pembangunan yang sudah direncanakan dari tahun 2001 ini memakan waktu yang sangat lama hingga tahun 2016 sekarang dari target penyelesaian awal yang direncanakan tahun 2005. Dari lamanya masa pembangunan, dapat diketahui hal yang menyebabkan permasalahan atau kendala dalam pembangunan Jembatan Mahkota II yang mayoritas adalah adanya masalah dalam pembiayaan pembangunan. Sehingga perlu dikajii dan dianalisa lebih lanjut dalam bentuk analisa critical review berikut.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Analisa (Critical Review)
Proyek pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda mulai direncanakan oleh Pemerintah Kota Samarinda dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2001 karena kondisi Jembatan Mahakam (Mahkota I) yang telah mengalami penurunan kualitas akibat tiang penyangga jembatan yang beberapa kali ditabrak ponton batubara dan sudah termakan usia. Kekhawatiran Pemkot dan Pemprov pada rentannya Jembatan Mahakam yang dapat roboh sewaktu-waktu serta dapat menghambat lalu lintas di Samarinda inilah yang akhirnya menghasilkan Jembatan Mahkota II yang menghubungkan dua kecamatan di Samarinda. Proyek besar yang menghasilkan jembatan terpanjang di Kaltim ini dipercayakan pemerintah untuk dipegang oleh perusahaan konstruksi PT. Agrabudi Karyamarga, yang juga memiliki peran andil terbesar dalam penyelesaian proyek jembatan ini. Adapun dana pembangunan jembatan ditanggung bersama oleh APBD Pemkot, bantuan APBD dari Pemprov dan APBN dari pemerintah pusat.
Pembangunan Jembatan Mahkota II memiliki tiga tahap. Tahap pertama yaitu pembangunan jembatan yang baru dilakukan pada tahun 2003, dua tahun sejak terciptanya rencana, yang dimulai dari pemancangan tiang pertama. Keterlambatan pembangunan tersebut salah satunya disebabkan kesalahan pada transparansi pengelolaan anggaran. Pada tahap pertama ini dibutuhkan dana sekitar Rp 353,74 miliar, tapi nyatanya tahap pertama menghabiskan dana sebesar Rp 385,92 miliar, lebih dari yang dianggarkan. Ditambah tidak sebanding dengan rencana penyelesaian yang ditargetkan akan selesai pada tahun 2005 dan molor hingga baru selesai pada tahun 2013 karena adanya kendala-kendala yang bermunculan. Proyek jembatan akhirnya sempat mangkrak beberapa tahun akibat tidak mendapat kucuran dana dari APBN. Hal itu dikarenakan adanya ketidakpastian dalam pembangunan jembatan seiring adanya rencana pemindahan Pelabuhan Samarinda dan dibangunnya Pelabuhan Peti Kemas Palaran. Dikhawatirkan, jika Mahkota II dilanjutkan, akan mengganggu lalu lintas pelayaran Sungai Mahakam. Pembiayaan proyek pembangunan Jembatan Mahkota II pun dialihkan oleh Pemkot untuk membangun Jembatan Mahulu (Mahakam Ulu) yang tidak mengganggu pelayaran menuju Pelabuhan Samarinda pada tahum 2005. Dimana alasan ini menurut saya pribadi terlihat seperti akal-akalan Pemkot yang ingin menggelontorkan APBD untuk main proyek. Padahal satu jembatan belum terselesaikan, akan tetapi mau dibangun jembatan lain dengan dana yang diberikan untuk pembiayaan Jembatan Mahkota II yang beralasan mangkrak.
Setelah selesainya pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Palaran dan Jembatan Mahulu pada tahun 2009, proyek Jembatan Mahkota II dilanjutkan kembali pada tahun 2010 dengan didanai oleh APBD Kaltim Rp 50 miliar dan APBD Samarinda Rp 15 miliar. Namun, tetap tidak berjalan mulus karena masih sangat kurang dengan biaya konstruksi yang dibutuhkan. Dari sini bisa dilihat ketidakbecusan dan ketidakseriusan Pemkot dalam menjalankan proyek Jembatan Mahkota II. Ketidakseriusan Pemkot membangun proyek Jembatan Mahkota II tersebut juga bisa dilihat dari pengalokasian anggaran sejak 2003 hingga 2010 hanya Rp 73,419 miliar atau tak sebanding dengan alokasi yang disalurkan subsidi Pemprov Kaltim yang mencapai Rp 126,260 miliar. Meskipun proyek ini milik Pemkot Samarinda, justru peran andil pembiayaan lebih banyak dilakukan oleh Pemprov Kaltim.
Tahap pertama pun akhirnya rampung pada tahun 2013, itupun belum benar-benar selesai dikarenakan pengerjaan pylon 7 dan 8 yang masih tersisa beberapa segmen yang dilanjutkan kembali pada tahap kedua ditahun yang sama. Pada tahap ini juga dilakukan pengerjaan pemasangan bentang tengah dan cable stayed serta tahap proses masa sanggah yang menyebabkan tahap kedua diundur beberapa bulan. Pada tahap kedua ini dilakukan lelang proyek kembali, akan tetapi disanggah dan akhirnya dimenangkan kembali oleh PT. Agrabudi Karyamarga. Pada tahap dua ini diperlukan Rp 215,36 miliar. Pada tahap ini Pemkot berstrategi untuk mengoptimalkan optimalkan anggaran di APBD sehingga mampu menyelesaikan pembangunan. Dana yang dialokasikan dalam APBD murni 2015 sebesar Rp 162,26 miliar. Kekurangan sekira Rp 51,1 miliar akan dialokasikan dalam APBD provinsi. Namun, kekurangan itu membengkak menjadi Rp 74,63 miliar. Biaya tersebut bertambah karena terjadi adendum perubahan desain pada struktur back stayed sebanyak Rp 21,53 miliar. Jadi, total biaya tahap dua membengkak menjadi Rp 236,89 miliar.
Namun, sangat disayangkan kembali, dana yang membengkak tidak sebanding dengan penyelesaian jembatan yang direncanakan dapat berfungsi pada tahun 2015. Lagi-lagi proyek mengalami kemoloran. kedua bentang jembatan memang bisa tersambung di akhir tahun 2015. Namun sayangnya, tetap belum bisa dilewati masyarakat. Alasannya, ada evaluasi dari Kementrian PU dan pakar jembatan yang mengharuskan ada penguatan struktur agar aman digunakan. Dan penguatan struktur tersebut membutuhkan tambahan anggaran Rp 21 miliar. Maka dilakukakanlah tahap ketiga, yakni penguatan struktur jembatan
Molornya pengerjaan Mahkota II disebabkan oleh kontraktor tidak professional. Indikasinya, selama hampir empat belas tahun, proyek yang dikerjakan PT Agrabudi Karyamarga belum juga rampung. Bahkan, sejak awal pemilihan kontraktor bermasalah, karena tak memiliki pendanaan yang cukup, bisa saja secara teknis kontraktor profesional. Tapi secara anggaran belum layak.Keitdakprofesionalan kontraktor pun kembali terungkap ketika tahap ketiga mulai direncanakan pada tahun yang sama, tahun 2015. Lelang proyek penguatan struktur kembali disanggah oleh PT Agrabudi Karyamarga dengan beralasan harus dikerjakan kontraktor lama. Jika kontraktor diganti, tentunya biaya akan membengkak karena akan dilakukan audit mulai dari awal dan akan ada biaya mobilisasi alat-alat kontraktor baru. Namun, lagi-lagi kontraktor tidak bisa menjamin proyek Jembatan Mahkota II tuntas dengan Rp 21 dan meminta anggaran lagi karena adanya keperluan lain berupa structural health bridge monitoring alias mesin untuk memantau kondisi jembatan seharga Rp 15 miliar.
Permasalahan kontraktor ini menjadikan pelajaran bagi Pemkot untuk jeli dalam memilih kontraktor dalam mengerjakan proyek-proyek lainnya. Bila perlu, untuk proyek besar dikerjakan oleh gabungan beberapa kontraktor (konsorsium).
Pada tahun ini, tahun 2016, sudah masuk tahap finalisasi. Pekerjaan tersisa yakni pemasangan trotoar, penangkal petir di atas tower jembatan, pengecatan, uji beban serta pemasangan structural health bridge. Pada tahap ini ditargetkan rampung dan sudah dapat difungsikan pada bulan November. Namun, Wali Kota Samarinda menginginkan peresmian dilakukan pada Januari tahun depan. Diharapkan Jembatan Mahkota II akan berfungsi sebagaimana mestinya dan terjamin kualitasnya sebanding dengan lamanya proses pengerjaan proyek yang dibutuhkan.
Kendala lambatnya pembangunan infrastruktur terjadi karena kurangnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam pengelolaan proyek antara pemerintah dan pihak swasta. Tata kelola pemerintahan di Indonesia masih memiliki beberapa hal buruk, salah satunya dalam proyek Jembatan Mahkota II ini. Sudah seharusnya diperlukan pengadaan ketepatan waktu dalam pembiayaan, transparansi, standarisasi risiko kontrak, dukungan serta persetujuan besar dari pemerintah.
BAB IV
KESIMPULAN
Berikut kesimpulan dari pembahasan critical review proyek pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda, antara lain:
1. Stakeholder yang terlibat dalam pembiayaan proyek pembangunan Jembatan Mahkota II ini adalah Pemerintah Kota Samarinda sebagai pemilik proyek dan pembiayaan dengan dibantu Pemerintah Provinsi Kaltim yang memiliki peran andil terbesar dan Pemerintah Pusat dalam hal penambahan anggaran pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II. Sealin itu dari pihak swasta ialah perusahaan konstruksi PT. Agrabudi Karyamarga sebagai pelaksana proyek atau kontraktor.
2. Sumber dana pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II ini berasal dari APBD Kota Samarinda, dengan bantuan dana yang besar dari APBD Provinsi Kalimantan Timur setiap tahunnya dan dari APBN yang beberapa kali cukup membantu meskipun tidak kembali dikucurkan beberapa tahun terakhir dengan total pembiayaan pembangunan Jembatan yang digunakan dari ketiga tahap secara keselurahan sebesar Rp. 658,81 miliar.
3. Permasalahan atau kendala dalam pembangunan Jembatan Mahkota II antara lain proses pengerjaan jembatan yang membutuhkan waktu yang sangat lama, kesalahan tranparansi pengelolaan anggaran, dana APBN yang tidak dikucurkan kembali, adanya proyek lain yang dilakukan Pemkot berupa proyek pemindahan Pelabuhan Samarinda dan pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Palaran yang membutuhkan akses Sungai Mahakam, pengalihan pembiayaan yang diperuntukkan pada Jembatan Mahkota II oleh Pemkot untuk membiayai proyek jembatan lain yaitu Jembatan Mahulu, ketidakseriusan Pemkot dalam membiayai proyek Jembatan Mahkota II yang dibuktikan dengan sedikitnya pengalokasian anggaran, serta kurangnya pengelolaan proyek antara pemerintah dan pihak swasta sehingga menyebabkan ketidakprofesionalan perusahaan konstruksi PT Agrabudi Karyamarga dalam mengerjakan proyek Jembatan Mahkota II. Strategi dalam pembangunan Jembatan Mahkota II yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta, yaitu perusahaan konstruksi PT Agrabudi Karyamarga serta mengoptimalisasi anggaran di APBD murni, dimana keduanya tidak terealisasikan secara sempurna dalam menyelesaikan proyek. Adapun solusi untuk proyek kedepannya sebaiknya dikerjakan oleh gabungan beberapa kontraktor (konsorsium), pengadaan ketepatan waktu dalam pembiayaan, transparansi, standarisasi risiko kontrak, dukungan serta persetujuan besar dari pemerintah.
4. Strategi dalam pembangunan Jembatan Mahkota II yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta, yaitu perusahaan konstruksi PT Agrabudi Karyamarga serta mengoptimalisasi anggaran di APBD murni, dimana keduanya tidak terealisasikan secara sempurna dalam menyelesaikan proyek. Adapun solusi untuk proyek kedepannya sebaiknya dikerjakan oleh gabungan beberapa kontraktor (konsorsium), pengadaan ketepatan waktu dalam pembiayaan, transparansi, standarisasi risiko kontrak, dukungan serta persetujuan besar dari pemerintah.