Selasa, 13 September 2016

Perancangan Kota

GARIS SEMPADAN BANGUNAN (GSB)

          Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah sebuah garis yang membataskan jarak bebas minimum dari sisi terluar sebuah massa bangunan terhadap batas lahan yangg dikuasai. Garis Sempadan Bangunan (GSB) yang mengatur jarak antara satu bangunan ke bangunan lain. GSB terdiri dari Garis Sempadan Muka Bangunan, Garis Sempadan Samping Bangunan dan Garis Sempadan Belakang Bangunan seperti yang terlihat dari gambar berikut.


Gambar 1.1 Garis Sempadan Bangunan
Sumber : Power Point Perancangan Kota, 2016

Selain GSB, ada Garis Sempadan Jalan (GSJ) yang merupakan garis sempadan yang menetapkan jarak antara jalan dengan bangunan terluar. Patokan serta batasan untuk cara mengukur luas garis sempadan ialah as atau garis tengah jalan, tepi pantai, tepi sungai, rel kereta api, dan/atau juga jaringan tegangan tinggi. Tidak semua wilayah di suatu daerah memiliki besaran GSJ yang sama. Hal ini tergantung dari kelas jalan dan lokasinya. Hingga kalau sebuah rumah kebetulan berada di pinggir sebuah jalan, maka garis sempadannya diukur dari garis tengah jalan tersebut sampai sisi terluar dari bangunan di tanah yang dikuasai si pemilik.

Gambar 1.2 GSB dan GSJ
Sumber : Power Point Perancangan Kota, 2016

KETINGGIAN MAKSIMUM

           Ketinggian maksimum yang diijinkan sesuai KKOP dihitung menggunakan persamaan berikut:

Tm = Tm1 ± St

Tm       : tinggi maksimum bangunan yang diijinkan dalam meter
Tm1     : tinggi maksimum bangunan yang  diijinkan berdasarkan teori
St         : selisih ketinggian (peil) antara lokasi studi dengan bandara

KKOP (Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan)

Sesuai dengan ICAO ANNEX 14 Vol 1 Chapter 4 ''OBSTACLE RESTRICTION AND REMOVAL'' serta Keputusan Menteri Perhubungan KM 48 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Bandar Udara Umum yang mengatur tentang Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan menyaratkan bahwa kawasan udara di sekitar bandar udara harus bebas dari segala bentuk hambatan yang akan mengganggu pergerakan pesawat udara dengan menetapkan batasan ketinggian tertentu terhadap objek-objek di sekitar bandar udara.
Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan. Kawasan ini perlu diperhatikan untuk menjaga keselamatan operasional pesawat udara di sekitar bandara. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi ketinggian bangunan atau halangan lainnya seperti gunung, bukit, pepohonan di sekitar wilayah operasi penerbangan atau  bandara.
KKOP suatu bandara merupakan kawasan yang relatif sangat luas, mulai dari pinggir landas pacu yang disebut runway strip membentang sampai radius 15 km dari ARP dengan ketinggian berbeda-beda sampai 145 m relatif terhadap AES. Kawasan permukaan yang paling kritis terhadap adanya halangan (obstacle) adalah Kawasan Pendekatan dan Lepas landas (approach and take off), Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan di Bawah Permukaan Transisi, dan Kawasan di Bawah Permukaan Horizontal Dalam.
Pada zona horizontal dalam, maksimal ketinggian bangunan di sekitar bandara yang diizinkan adalah 45 meter. Zona area dalam dihitung sejajar mulai dari ujung bahu landasan hingga radius 4 kilometer.
Untuk wilayah yang termasuk dalam kawasan radar, maksimal ketinggian bangunan yang diizinkan adalah 15 meter atau sejajar dengan ketinggian radar. Perhitungan ini dilakukan sejauh 3 kilometer dari lokasi radar. Jika ada bangunan yang ketinggiannya melebihi dari yang ditetapkan, maka akan mengganggu operasional radar dan terjadi blank spot area.
Dari pejelasan dan definisi di atas, dapat diketahui fungsi dari KKOP, diantaranya:
·         Sebagai pengatur dan pengendali ketinggian dari suatu bangunan atau benda tumbuh yang diperkirakan dapat  mengganggu keselamatan operasi penerbangan pesawat.

·         Sebagai pengatur dan pengendali tata guna lahan di sekitar bandar udara untuk penyusunan tata ruang suatu wilayah.  


KELOMPOK 4   : Azzura Salsabila (08151005)
                              Mia Aulia (08151021)
                              M. Bintang Wahyu A. (08151025)
                              Roja Rofifah (08151036)

Kamis, 08 September 2016

Morfologi Kota



Kota-Kota Nusantara
Perkembangan Kota Pesisir di Nusantara

Kota pesisir atau yang biasa disebut waterfront city merupakan kawasan perkotaan yang berada di tepi air seperti laut, sungai, danau, dan sebagainya. Kota ini memeiliki karakteristik open access dan juga multi fungsi. Contoh kota pesisir di Indonesia antara lain, Banten, Cirebon, dan Makassar. Perkembangan kota pesisir dimulai dari factor geografis dan sejarah Indonesia pada satu abad terakhir. Di Indonesia, kota pesisir berawal dari pelabuhan dan kawasan pesisir yang mejadi pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan kota. Perkembangan kota ini sangat pesat, dimulai dari di tepi air, kemudian meluas hingga ke daratan lainnya yang dominan perkembangannya dominan menjadi lebih pesat. Perkembangan kota pesisir di Indonesia selalu berawal dari pelabuhan dan kawasan pesisir yang menjadi pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan kota. Kota ini  telah menjadi bagian dari rute dan pintu gerbang perdagangan internasional, pertukaran budaya bangsa, dan lambang kemakmuran bangsa serta kesejahteraan rakyat, sehingga memainkan peran ekonomi dan sosial-budaya yang penting dalam perkembangan budaya Nusantara. Kota pesisir memiliki ciri seperti aksesbilitas yang baik, karena kebanyakan pintu gerbang kota ini yaitu pelabuhan, dimana banyak sekali kegiatan masyarakat yang bertempat disana, salah satunya perdagangan. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan, pasti banyak terjadi proses pertuakaran barang dan jasa maupun migrasi di pelabuhan tersebut. Sehingga kota ini berpotensi menjadi pusat perdagangan, jasa industri, dan pariwisata. Meskipun memiliki potensi yang baik, kota pesisir juga merupakan kawasan rentan bencana yang besar, seperti tsunami dan abrasi pantai.
            Kota pesisir juga memiliki struktur morfologis sendiri. Adapun struktur morfologis kota pesisir antara lain :
  • Didominasi oleh kawasan tempat tinggal penguasa seperti keraton, alun-alun, masjid pada kota dengan pengaruh islam. Seperti yang kita tahu, pada zaman dahulu persebaran agama islam saat kuat dengan melalu perdagangan dan jalur perairan. Dengan pintu utama pelabuan, maka pesebaran agama islam di kota pesisir bisa dibilang sangat pesat. Hal ini terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan islam serta tempat peninggalannya seperti keraton islam dan masjid
  • Dominasi pada armada laut, meguasai perairan dagang. Contohnya pada masa kerajaan Sriwijaya
  • Memiliki hubungan yang kuat dengan daerah pedalaman (hinterland). Contohnya pada kota Banten yang banyak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah dikota tersebut
  • Struktur kota ditandai dengan gradasi konsentrik istana dan bangunan suci sebagai pusat, dikelilingi permukiman aristocrat dan pemuka agama. Di ring luar dihuni kelas menengah, dan ring paling luar dihuni masyarakat kebanyakan serta pedagang asing.
Tipe kota konsentrik yaitu seperti lingkaran, dengan pusat kota ditengah. Lanjut ke ring selanjutnya yaitu hunian masyarakat menengah dan ring terluar merupakan hunian para bangsawan atau masyarakat keatas. Tipe ini juga sudah diterapkan pada kota pesisir di nusantara pada zaman dahulu
Kehancuran Kota-Kota Nusantara
Kota-kota di Indonesia juga pernah mengalami masa kemunduran dan kehancuran. Apalagi setelah datangnya para pedagang dari Eropa. Berikut beberapa penyebab hancurnya kota-kota di nusantara :
  •  Kedatangan bangsa Eropa sebagai pedagang (abad ke-17). Para pedagang eropa datang ke Indonesia melalui jalur laut, sehingga menyebabkan kawaasan perdagangan disekitar pesisir semakin pesat. Hal ini menyebabkan banyak penduduk yang awalnya tinggal ditengah kota pindah ke kawasan pesisir. Perpindahan penduduk ini sulit diantipasi pada masa itu, sehingga pusat kota menjadi sepi
  • Pos perdagangan merusak system ekonomi Indonesia, seperti adanya monopoli perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Eropa
  • System pertukaran barang Eropa yang menyederhanakan birokrasi perdagangan (pajak lokal berkurang). Akibat pajak lokal berkurang, maka pendapatan didaerah tersebut juga berkurang, sehingga penyediaan infrastruktur dikota tersebut menjadi terhambat
  • Muncul kota Indiche yang dikelola oleh Belanda. Para bangsa Eropa yang datang dan melakukan perdagangan di Indonesia tentu tidak dalam jangka waktu yang sebentar. Untuk menjaga kepentingan bangsa tersebut, maka mereka mendirikan permukiman sendiri khusus untuk pedagang asing (bangsa Eropa). Hal ini juga menjadi salah satu penyebab kehancuran kota di nusantara pada masa itu
Perkembangan Kota Kolonial
KOTA KOLONIAL (KOTA TRIPATRITE)
Dibentuk oleh 3 elemen (Nas. 1997)

o   Kawasan Pribumi (kraton – kampung)
Kawasan tempat tinggal yang dihuni oleh para pribumi pada masa kolonial. Biasanya ditempatkan menurut sekumpulan yang menghuni kawasan tersebut, yaitu para pribumi.
o   Kawasan Pecinan (bangunan shop house)
Kawasan pecinan biasanya kawasan perdagangan yang mayoritas dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Kawasan ini biasa berbentuk toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan.
o   Kawasan Asing (Eropa – dibentuk dari benteng dan perumahan pegawai kolonial)
Kawasan ini berisi perumahn tempat tinggal para para petinggi Eropa dan pegawainya. Biasanya dilengkapi benteng untuk melindungi tempat tinggal mereka.

KONFIGURASI 3 ELEMEN TIDAK SEMUA SAMA
Elemen lain dapat mendominasi satu sama lain, contoh:
·         Kawasan Pribumi : benteng mendominasi kraton
·         Kawasan Lasem : kawasan pecinan lebih mendominasi
·         Kawasan Palembang : kraton lebih dominan dari pada benteng
·         Kota Manado : benteng lebih dominan dari kraton


Kota Manado
sumber: www.bode-talumewe.blogspot.com


Gambar 2. Kota Batavia
sumber: https://ariesaksono.wordpress.com/2007/12/19/

 


Kota Lasem, Rembang
sumber : http://klentengtao.com/author/admin/


Palembang, Kerajaan Sriwijaya
sumber: http://kesultanan-palembang.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-misteri-kerajaan-sriwijaya.html
MODERNISASI KOTA KOLONIAL

Yang mempengaruhi modernisasi kota kolonial adalah terjadinya interaksi dengan kota-kota metropolitan dunia. Proses terjadinya modernisasi tersebut bersifat konvergen dan divergen.

Fragmented City

          Fragmented city atau yang dalam bahasa Indonesianya adalah Kota Terpecah adalah kota yang bentuknya adalah terpecah-pecah. sebenarnya jika dilihat dalam skala kecil kota ini termasuk kota yang kompak dan teratur, namun dalam proses perkembangannya tidak secara teratur sehingga setelah berkembang maka kota ini termasuk dalam kota yang berbentuk tidak kompak dan terpecah-pecah. kota yang terpecah-pecah ini membentuk sebuah exclaves, dimana kota-kota disekitarnya tidak berhubungan langsung dengan kota induknya, sehingga kota-kota tersebut berhubungan namun tidak secara langsung berhubungan dengan induknya. hal ini bisa terjadi karena bentuk kota tersebut tidaklah teratur melainkan berpencar-penar. gejala atau hal yang dapat dilihat apakah kota tersebut merupaka kota yang terpecah adalah dapat dilihat dari terjadinya perluasan wilayah kota tersebut, adanya pembuatan jalan lingkar, adanya pertumbuhan memanjang, dan adanya pusat-pusat kegiatan baru. sedangkan dampak yang dihasilkan dari kota yang berbentuk terpecah-pecah ini adalah spekulasi pemilikan lahan, defisiendi infrastruktur, dan kota berkembang dengan bentuk terpecah-pecah (fragmented city).

Bentuk kota dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk kompak dan tidak kompak. Fragmented city atau bisa disebut sebagai kota terpecah merupakan salah satu bentuk kota yang tidak kompak. Kota ini berbentuk seperti satellite yang terdiri dari kota induk dan daerah sekitarnya.

            Definisi Fragmented city menurut Balbo, 1997, adalah :
1. Kota-kota di dunia ketiga yang tersusun dari bagian-bagian yang tidak membentuk suatu keseluruhan yang homogen sebagai sebuah organisme tunggal.
2. Kota-kota yang terangkai secara fisik menjadi satu tapi secara arsitektural dan sosial terpisah
3. Merupakan fragmen-fragmen (pecahan-pecahan) yang disebaban oleh proses urbanisasi yang menghasilkan pola diskontuinitas yang menerus.

         Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Fragmented city sendiri merupakan kota yang bentuk awalnya kompak dalam skala kecil dan saling menyatu sehingga membentuk kota besar. Namun, perluasan areal kota tersebut tidak langsung menyatu dengan induknya karena terdiri dari areal-areal yang mempunyai karakter berbeda dari segi arsitektual maupun sosialnya. Kota dengan bentuk fragmented city ini banyak ditemui di negara berkembang yang awalnya merupakan permukiman perdesaan yang berkembang menjadi kota karena dipengaruhi proses urbanisasi.

Kelompok 10
Ariesa Ertamy 08151004
Dahlia Nur Hidayanti 08151010
Maghfirah R.I. 08151018
Roja Rofifah    08151036
 

Rabu, 07 September 2016

Morfologi Kota

Fragmented City (Kota Terpecah)

Bentuk kota dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk kompak dan tidak kompak. Fragmented city atau bisa disebut sebagai kota terpecah merupakan salah satu bentuk kota yang tidak kompak. Kota ini berbentuk seperti satellite yang terdiri dari kota induk dan daerah sekitarnya.

            Definisi Fragmented city menurut Balbo, 1997, adalah :
1. Kota-kota di dunia ketiga yang tersusun dari bagian-bagian yang tidak membentuk suatu keseluruhan yang homogen sebagai sebuah organisme tunggal.
2. Kota-kota yang terangkai secara fisik menjadi satu tapi secara arsitektural dan sosial terpisah
3. Merupakan fragmen-fragmen (pecahan-pecahan) yang disebaban oleh proses urbanisasi yang menghasilkan pola diskontuinitas yang menerus.

         Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Fragmented city sendiri merupakan kota yang bentuk awalnya kompak dalam skala kecil dan saling menyatu sehingga membentuk kota besar. Namun, perluasan areal kota tersebut tidak langsung menyatu dengan induknya karena terdiri dari areal-areal yang mempunyai karakter berbeda dari segi arsitektual maupun sosialnya. Kota dengan bentuk fragmented city ini banyak ditemui di negara berkembang yang awalnya merupakan permukiman perdesaan yang berkembang menjadi kota karena dipengaruhi proses urbanisasi.