Senin, 05 Desember 2016

ARAHAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN FASILITAS PERIBADATAN MASJID DAN MUSHOLLA/LANGGAR DI KECAMATAN BALIKPAPAN TENGAH

Dosen Pengajar:
Achmad Ghozali S.T., M.T. dan Mega Ulimaz S.T., M.T.

Disusun Oleh:
Bagus Erik Prabowo               (08151006)
M. Bintang Wahyu Aji             (08151025)
Roja Rofifah                            (08151036)
Safitri Wardani                        (08151038)
Sari Febrianty S.                     (08151039)
Wiby Alex Ando S.                 (08151043)

BAB I PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Republik Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang terletak di garis Khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua dan dua samudra, Indonesia sering disebut sebagai Nusantara. Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari sabang hingga merauke, berbagai macam suku, serta bahasa dan agama yang berbeda. Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalimantan Timur dikenal sebagai pulau yang memiliki berbagai macam sumber daya alam yang berlimpah. Balikpapan adalah kota besar di Provinsi Kalimantan Timur yang dijuluki banua patra (kota minyak) atau Bumi Manuntung (Cerita Rakyat Nusantara).
Kota Balikpapan secara astronomis terletak di antara 1,0 LS – 1,5 LS dan 116,5 BT – 117,0 dengan luas sekitar 50.330.570 Ha sekitar 503,3 km2 dan luas pengelolaan laut mencapai 160,10 km2. Batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kertanegara, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Makasar, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makasar. Secara administratif dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pembentukan 7 Kelurahan Dalam Wilayah Kota Balikpapan, dan Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kecamatan Balikpapan kota dalam Wilayah Kota Balikpapan. Balikpapan terdiri dari 6 Kecamatan dan 34 Kelurahan, yaitu Kecamatan Balikpapan Timur, Kecamatan Balikpapan Selatan, Kecamatan Balikpapan Tengah, Kecamatan Balikpapan Utara, Kecamatan Balikpapan Barat dan Kecamatan Balikpapan Kota (Balikpapan.go).
Kecamatan Balikpapan Tengah memiliki luas wilayah perairan 9,97 km2 dan wilayah darat 11,0738 km2. Kecamatan ini memiliki 6 kelurahan dan 323 jumlah rukun tetangga yang terdiri dari Kelurahan Gunung Sari illir dengan luas daerah 1,1410 km2 dengan 69 RT, Kelurahan Gunung Sari Ulu memiliki luas daerah 1,8252 km2 dengan 34 RT. Kelurahan Mekar Sari 1,1866 km2 dengan jumlah 35 RT, Kelurahan Karang Rejo luas daerah 1,2050 km2 dengan jumlah 66 RT. Kelurahan Sumber Rejo luas daerah 2,205 km2 dengan jumlah 44 RT, dan Karang Jati dengan luas daerah 3,411 km2 jumlah rukun tetangga  sebanyak 37 RT. Jumlah penduduk Kecamatan Balikpapan Tengah sebanyak 119.167 jiwa yang tercatat dalam Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan (BPS Kota Balikpapan).
Kecamatan Kota Balikpapan Tengah merupakan salah satu kecamatan dengan jumlah kepadatan penduduk sebanyak 10.765 jiwa per km2. Karena meningkatnya jumlah penduduk di kecamatan ini sehingga pembangunan infrastruktur juga akan meningkat sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari beberapa teori dan model yang senantiasa berkembang dan telah diuji terapkan serta kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Dalam sejarah pengembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya (Putri Nirwana, 2016).
Begitu halnya yang terjadi pada di Kecamatan Balikpapan Tengah, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, kecamatan ini dianggap memiliki potensi bertransformasi menjadi kota metropolitan yang berpengaruh. Berbagai infrastruktur telah dibangun dan akan terus dibangun sesuai dengan kebutuhan dalam upaya pengembangan wilayah berdasarkan koridor RTRW 2012-2032 yang telah ditetapkan sebelumnya. Infratruktur merupakan fasilitas yang penting dalam pembangunan suatu kawasan atau wilayah, karena dapat meningkatkan perekonomian serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini mengingat gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan Infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang dibutuhkan dan dibangun adalah fasilitas peribadatan.
Fasilitas peribadatan di Kecamatan Balikpapan Tengah tersebar di 6 kelurahan dengan jumlah penduduk yang beragama Islam lebih banyak dibandingkan agama lain, yaitu sebanyak 105.433 jiwa (Balikpapan Tengah Dalam angka 2016). Pertumbuhan penduduk yang beragama Islam pun cukup signifikan, dari tahun 2012 jumlah penduduk yang beragama Islam sebanyak 97.638 jiwa. Pada tahun 2013 sebanyak 100.012 jiwa dan pada tahun 2014 sebanyak 103.127 jiwa. Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat di kecamatan ini khususnya penduduk yang beragama Islam, hal ini melatarbelakangi penulis dalam membuat laporan yang bejudul “Arahan Pengendalian Pembangunan Fasilitas Peribadatan Masjid Dan Musholla/Langgar Di Kecamatan Balikpapan Tengah”.

1.2       Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu “Bagaimana tingkat pelayanan fasilitas peribadatan di Kecamatan Balikpapan Tengah?”

1.3       Tujuan dan Sasaran
Tujuan yang akan dicapai dari penulisan laporan ini adalah mengevaluasi tingkat pelayanan fasilitas peribadatan di Kecamatan Balikpapan Tengah. Adapun sasaran yang akan dicapai adalah:
1.      Identifikasi sebaran fasilitas peribadatan eksisting dan rencana di Kecamatan Balikpapan Tengah
2.      Analisis cakupan pelayanan eksisting fasilitas peribadatan di Kecamatan Balikpapan Tengah sesuai dengan standar
3.      Evaluasi kondisi eksisting pelayanan dan rencana fasilitas peribadatan di Kecamatan Balikpapan Tengah
4.      Rekomendasi arahan persebaran pelayanan fasilitas peribadatan Kecamatan Balikpapan Tengah

1.4       Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari laporan ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu ruang lingkup pembahasan dan ruang lingkup wilayah yang dijelaskan sebagai berikut:
1.4.1    Ruang Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan pada laporan ini adalah Kecamatan Balikpapan Tengah dengan mengidentifikasi sebaran lahan terbangun, menganalisis cakupan pelayanan fasilitas peribadatan sesuai dengan standar, mengevaluasi kondisi eksisting pelayanan fasilitas peribadatan dan memberikan rekomendasi arahan persebaran pelayanan fasilitas peribadatan baik kondisi eksisting maupun rencana. Data yang disajikan dianalisis dengan menggunakan beberapa tools dalam GIS yaitu analysis tools buffer.

1.4.2    Ruang Lingkup Wilayah
            Ruang lingkup wilayah studi dari laporan ini adalah Kecamatan Balikpapan Tengah. Adapun batas-batas Kecamatan Balikpapan Tengah antara lain:
Sebelah Utara             : Kecamatan Balikpapan Utara
Sebelah Timur            : Kecamatan Balikpapan Selatan
Sebelah Selatan         : Kecamatan Balikpapan Selatan
Sebelah Barat             : Kecamatan Balikpapan Barat

            Berikut adalah peta batas administrasi Kecamatan Balikpapan Tengah, Kota Balikpapan:
Gambar 1.1 Peta Batas Administrasi Kecamatan Balikpapan Tengah

Sumber: BAPPEDA Kota Balikpapan

BAB II DASAR TEORI
2.1       Fasilitas Peribadatan
Kualitas kehidupan beragama dapat dilihat dari kesadaran masyarakat itu sendiri untuk mengimplementasikan agamanya dan dengan adanya sarana peribadatan dapat mendukung aktivitas keagamaan. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1986) fasilitas peribadatan merupakan sarana kehidupan untuk mengisi kebutuhan rohani yang perlu disediakan di lingkungan yang direncanakan sesuai dengan keputusan masyarakat yang bersangkutan. Tempat peribadatan merupakan hal penting yang harus ada disetiap kota. Sarana tempat peribadatan tersebut dibangun untuk memenuhi kebutuhan spiritual umat beragama dalam melaksanakan kewajiban beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sarana peribadatan merupakan sarana kehidupan untuk mengisi kebutuhan rohani yang perlu disediakan di lingkungan perumahan yang direncanakan selain sesuai peraturan yang ditetapkan, juga sesuai dengan keputusan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena berbagai macam agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat penghuni yang bersangkutan, maka kepastian tentang jenis dan jumlah fasilitas peribadatan yang akan dibangun baru dapat dipastikan setelah lingkungan perumahan dihuni selama beberapa waktu. Pendekatan perencanaan yang diatur adalah dengan memperkirakan populasi dan jenis agama serta kepercayaan dan kemudian merencanakan alokasi tanah dan lokasi bangunan peribadatan sesuai dengan tuntutan planologis dan religius.
Dasar penyediaan ini juga akan mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Hal ini dapat terkait dengan bentukan grup bangunan/blok yang nantinya lahir sesuai konteks lingkungannya. Penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi untuk melayani area tertentu (SNI 03-1733-2004).

2.2       Jenis-jenis Sarana Peribadatan
Menurut SNI 03-1733-2004, jenis fasilitas peribadatan sangat tergantung pada kondisi setempat dengan memperhatikan struktur penduduk menurut agama yang dianut dan tata cara atau pola masyarakat setempat dalam menjalankan ibadah agamanya. Adapun jenis fasilitas peribadatan untuk agama islam sebagai berikut:
2.2.1    Masjid
            Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Selain tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan penting dalam aktivitas social kemasyarakatan hingga kemiliteran (Ambarwati, 2014).
Menurut SNI 03-1733-2004, masjid mempunyai beberapa jenjang sesuai dengan wilayah cakupannya, yaitu masjid warga, masjid lingkungan dan masjid kecamatan. Berikut merupakan standar penyediaan masjid.
a.         kelompok penduduk 2.500 jiwa, disediakan masjid warga dengan luas lahan minimal 600 m2
b.         kelompok penduduk 30.000 jiwa, disediakan masjid kelurahan dengan luas lahan minimal 3.600 m2
c.         kelompok penduduk 120.000 jiwa, disediakan masjid kecamatan dengan luas lahan minimal 5.400 m2

2.2.1    Mushola
            Masjid yang berukuran kecil dan cakupan wilayah yang kecil disebut mushola, langgar atau surau (Ambarwati, 2014). Menurut SNI 03-1733-2004, standar penyediaan mushola membutuhkan 250 jiwa kelompok penduduk dengan luas lahan minimal 100 m2.
      Berkaitan dengan jenis dan jenjang fasilitas peribadatan, pola persebaran peribadatan dapat disesuaikan  dengan pola persebaran fasilitas kota yang lain. Indikator yang dapat digunakan antara lain pola persebaran perumahan dan permukiman, pola persebaran kegiatan pendidikan, dan pola persebaran kependudukan (Kodoatie, 2003).
    Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua jenis peribadatan, yaitu masjid dan mushola dengan luas minimal lahan masing-masing yaitu 100 m2 dan 600 m2. Selain mengidentifikasikan persebaran fasilitas peribadatan menggunakan indikator wilayah, juga dapat menggunakan persebaran berdasarkan pola persebaran perumahan dan permukimannya.

BAB III METODOLOGI
3.1       Metodologi
3.1.1 Survey Primer
            Langkah awal untuk mengetahui persebaran peribadatan di Kecamatan Balikpapan Tengah ialah dengan melakukan survey primer untuk menghitung dan mengetahui posisi fasilitas peribadatan yang ada serta kondisi eksistingnya. Yang dimaksud dengan kondisi eksistingnya ialah bagaimana keadaan peribadatan pada Kecamatan Balikpapan Tengah ini, serta berapa jumlahnya. Dalam survei primer ini tidak didapatkan data berupa jangkauan, melainkan dengan SNI lalu dilakukan Buffer pada aplikasi GIS pada metode selanjutnya.

3.1.2 Buffer
Untuk mendapatkan peta persebaran peribadatan Kecamatan Balikpapan Tengah digunakan aplikasi GIS dan untuk menganalisis sarana peribadatan tersebut maka digunkan analysis tools Buffer. Buffer ini merupakan analisa spasial yang menghasilkan area berjarak sesuai dengan masukan metrik dan buffer bertipe polygon. Pada Kecamatan Balikpapan Tengah terdapat fasilitas peribadatan yaitu masjid dan mushola/langgar yang masing-masing memiliki radius atau jarak terluar pelayanan dari titik pusat fasilitas peribadatan, sesuai dengan standarisasi keterjangkauan fasiilitas umum yang berlaku. Berikut adalah metode buffer yang digunakan dalam menganalisa keterjangkauan fasilitas peribadatan yang terdapat di Kecamatan Balikpapan Tengah:
 
Gambar 3.1 Proses Analisis Buffer Fasilitas Peribadatan Kecamatan Balikpapan Tengah pada Aplikasi GIS
Untuk sarana ibadah agama Islam, luas lahan minimal direncanakan sebagai berikut:
a.    Musholla/langgar dengan luas lahan minimal 45 m2;
b.    Masjid dengan luas lahan minimal 300 m2;
c.     Masjid kelurahan dengan luas lahan minimal 1.800 m2;
d.    Masjid kecamatan dengan luas lahan minimal 3.600 m2;
Untuk agama lain, kebutuhan ruang dan lahan disesuaikan dengan kebiasaan penganut agama setempat dalam melakukan ibadah agamanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 3.1 Kebutuhan Sarana Peribadatan
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN ANALISA

1.1         Gambaran Umum Wilayah Studi
            Wilayah studi pada pembuatan dan analisis peta untuk kebutuhan sistem informasi perencanaan terletak pada Kecamatan Balikpapan Tengah, Kota Balikpapan. Letak geografis Kecamatan Balikpapan Tengah berbatasan dengan Kecamatan Balikpapan Utara pada sebelah utaranya, berbatasan dengan Kecamatan Balikpapan Selatan pada sebelah timur dan selatannya, dan berbatasan dengan Kecamatan Balikpapan Barat pada sebelah baratnya.
Kecamatan Balikpapan Tengah mempunyai wilayah seluas 11,07 km2 dengan ketinggian 0-25 meter dari permukaan air laut. Kecamatan Balikpapan Tengah terbagi menjadi 6 (enam) kelurahan dan 323 RT. Adapun 6 kelurahan tersebut adalah Kelurahan Gunung Sari Ilir, Gunung Sari Ulu, Mekar Sari, Karang Rejo, Karang Jati dan Sumber Rejo.
Kecamatan Balikpapan Tengah mempunyai jumlah penduduk sebesar 119.167 jiwa penduduk dengan agama yang berbeda-beda. Terdapat tiga agama yang dianut oleh penduduk di Kecamatan Balkpapan Tengah, yaitu agama islam, kristen dan katolik. Berikut merupakan jumlah pemeluk agama yang dianut oleh penduduk di Kecamatan Balikpapan Tengah:
Tabel 4.1 Jumlah Pemeluk Agama Islam, Kristen dan Katholik di Kecamatan Balikpapan Tengah tahun 2015
No.
Kelurahan
Islam
Kristen
Katholik
1.
Gunung Sari Ilir
19.253
5.023
629
2.
Gunung Sari Ulu
14.385
1.972
390
3.
Mekar Sari
12.811
1.578
232
4.
Karang Rejo
25.473
1.550
262
5.
Karang Jati
14.102
533
155
6.
Sumber Rejo
19.409
2.111
381
Jumlah
105.433
12.767
2.049
Sumber: Kecamatan Balikpapan Tengah dalam Angka, 2016
Dalam menjalankan ibadah dari masing-masing agama, lazimnya memerlukan fasilitas peribadatan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kegiatan ibadah yang sangat rutin mempengaruhi penyediaan fasilitas peribadatan disekitar hunian yang mudah terjangkau oleh penduduk. Adapun fasilitas peribadatan yang terdapat di Kecamatan Balikpapan Tengah yang dianalisis adalah masjid dan mushola/langgar. Berikut jumah dan persebaran fasilitas peribadatan Kecamatan Balikpapan Tengah:
Tabel 4.2 Jumlah Masjid dan Mushola/Langgar Kecamatan Balikpapan Tengah tahun 2015
No.
Kelurahan
Mushola/Langgar
Masjid
1.
Gunung Sari Ilir
8
12
2.
Gunung Sari Ulu
11
6
3.
Mekar Sari
10
5
4.
Karang Rejo
17
10
5.
Karang Jati
9
11
6.
Sumber Rejo
15
9
Jumlah
77
48
Sumber: Kecamatan Balikpapan Tengah dalam Angka, 2016.

4.2         Analisa Cakupan Pelayanan
            Jika kita melihat persebaran mushola dan masjid pada Kecamatan Balikpapan Tengah saat ini, maka dapat dilakukan Analisa cakupan persebaran dengan menggunakan standar : SNI 03-1733-2004 tentang kebutuhan sarana peribadatan sebagai berikut:

4.2.1  Analisa Cakupan Pelayanan Masjid
            Dengan jumlah masjid pada Kecamatan Balikpapan Tengah yaitu sebanyak 48 unit. Berikut peta radius cakupan pelayanan masjid saat ini berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004 tentang kebutuhan sarana peribadatan
Gambar 4.1 Peta Radius Cakupan Pelayanan Masjid Pada Kecamatan Balikpapan Tengah

Dari peta tersebut dapat diketahui jika skala cakupan masjid yang berada pada Kecamatan Balikpapan Tengah sebenarnya tidak tepenuhi Karena ada beberapa wilayah pada Kecamatan Balikpapan Tengah yang tidak terkena radius dalam pelayanan masjid. Dengan luas total wilayah yang terlayani adalah 3705 m2 , dan luas wilayah yang tidak terlayani pada Kecamatan Balikpapan Tengah adalah 242 m2.
4.2.2 Analisa Cakupan Pelayanan Mushola
            Dengan jumlah mushola  pada Kecamatan Balikpapan Tengah yaitu sebanyak 77 unit. Maka dapat diketahui persebaran cakupan pelayanannya mushola berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004 tentang kebutuhan sarana peribadatan sebagai berikut
Gambar 4.2 Peta Cakupan Pelayanan Mushola Pada Kecamatan Balikpapan Tengah 

            Dengan luas wilayah Kecamatan Balikpapan Tengah yaitu 11,07 km2 maka dapat dilihat dari skala cakupan pelayanan dari Mushola pada peta diatas. Dapat diketahui bahwa mushola yang berada pada Kecamatan Balikpapan Tengah saat ini belum bisa melayani seluruh warga yang berada pada wilayah Kecamatan Balikpapan Tengah itu sendiri. Masih banyak wilayah – wilayah yang belum memiliki mushola. Ini lah yang mengakibatkan mushola yang berada pada Kecamatan Balikpapan tengah belum bisa melayani warganya.

4.2.3 Analisa Cakupan Pelayanan Masjid Berdasarkan Peta Rencana Permukiman
            Peta rencana permukiman di Kecamatan Balikpapan Tengah berdasarkan RDTR Kota Balikpapan menggunakan sistem zonasi seperti perumahan kepadatan sangat tinggi, perumahan kepadatan tinggi, perumahan kepadatan sedang, perumahan industri kepadatan tinggi, dan perumahan industri kepadatan sedang. Berikut peta kawasan permukiman berdasarkan RDTR kota Balikpapan Tahun 2016
Gambar 4.3 Peta Rencana Permukiman  Pada Kecamatan Balikpapan Tengah
Sumber:RDTR Kota Balikpapan Tengah 2016
            Setelah mengetahui peta rencana permukiman di Kecamatan Balikpapan Tengah maka dapat di ketahui juga peta persebaran cakupan pelayanan masjid berdasarkan rencana permukiman RDTR kota Balikpapan. 
Gambar 4.4 Peta Cakupan Pelayanan Masjid  Berdasarkan Rencana Permukiman Kecamatan Balikpapan Tengah Sumber:RDTR Kota Balikpapan Tengah 2016

            Setelah mengetahui cakupan pelayanan masjid berdasarkan peta rencana permukiman dapat diketahui persebarannya bahwa fasilitas masjid yang berada Kecamatan Balikpapan Tengah sudah dapat melayani seluruh kawasan permukiman yang ada.  sehingga dapat diketahui jika kelurahan Karang Jati RT 34 dan 35, Kelurahan Gunung Sari Ulu RT 30, dan Kelurahan Sumber Rejo RT 48.

Gambar 4.5 Peta Cakupan Pelayanan Mushola Berdasarkan Rencana Permukiman Kecamatan Balikpapan Tengah Sumber:RDTR Kota Balikpapan Tengah 2016

            Dari peta diatas dapat di ketahui jika pelayanan Mushola di Kecamatan Balikpapan Tengah tidak mencakupi seluruh Kecamatan Balikpapan Tengah, persebaran mushola pada Kecamatan Balikpapan Tengah bisa di lihat pada tabel (4.2). persebaran tersebut terbilang tidak merata jika berpacu pada SNI tentang penyediaan sarana peribadatan.


BAB V  PENUTUP
5.1 Kesimpulan
            Pada Kecamatan Balikpapan Tengah memiliki jumlah masjid 48 unit dan mushola 77 unit dengan luas total wilayah 11,07 km2. Setelah dilakukan arahan pengendalian pelayanan fasilitas masjid didapatkan luas total wilayah yang terlayani adalah 3705 m2, dan luas wilayah yang tidak terlayani pada Kecamatan Balikpapan Tengah adalah 242 m2. Sedangkan untuk mushola masih banyak wilayah yang belum terlayani.
            Pada pelayanan terhadap persebaran permukimannya, didapatkan fasilitas masjid sudah mencakup semua wilayah permukiman di Kecamatan Balikpapan Tengah, sedangkan persebaran mushola tidak merata dan belum dapat melayani Kecamatan Balikapapan Tengah secara keseluruhan.

5.2 Rekomendasi
            Dari anaisis yg telh dilakukan maka dapat direkomendasikan untuk pembangunann masjid yang telah cukup, sedangkan masih perlunya pembangunan mushola dimana jika menggunakan acuan dari SNI tentang peribadatan maka dapat disesuaikan berdasarkan jumlah penduduk

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, Lisa. Sistem Informasi Geografis Tempat Peribadatan Wilayah Surabaya. Politeknik Elektronika Negeri Surabaya : Surabaya
Kodoatie, R.J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar

SNI 03-1733-2004 Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan

Untuk lebih jelasnya, peta dapat dilihat di website mango.map dengan link sebagi berikut

Minggu, 09 Oktober 2016

CRITICAL REVIEW PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN MAHKOTA II KOTA SAMARINDA

DISUSUN OLEH :
Roja Rofifah (08151036)

DOSEN PENGAJAR :
Ihsani Merdekawati ST, MT, M.Sc.

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara terluas yang mempunyai jumlah penduduk yang cukup tinggi. Menurut CIA World Factbook Tahun 2015, Indonesia menempati urutan keempat dalam jumlah penduduk terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 255 Juta jiwa atau sekitar 3,5 persen dari seluruh penduduk dunia. Dimana Laju Pertumbuhan (LPP) mencapai 1,49 persen atau tiap tahunnya penduduk Indonedia bertambah sekitar 3-4 juta jiwa. Seiring dengan pertambahan penduduk Indonesia yang semakin pesat, permintaan pembangunan untuk melayani kegiatan masyarakat bertambah. Mulai dari perumahan, fasilitas umum hingga prasarana seperti jalan dan jembatan. Untuk melakukan pembangunan, tidak luput dari anggaran pembiayaan pembangunan tersebut.

Pembiayaan pembangunan merupakan penerimaan atau pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah yang bekerjasama dengan swasta dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk mensejahterakan warganya melalui kebijaksanaan, program atau proyek yang terencana (Aulia, 2015). Salah satunya merupakan pembiayaan pembangunan yang dilakukan pemerintah Kota Samarinda dalam proyek multiyears pembangunan jembatan dengan tujuan meningkatkan pemenuhan infrastruktur dasar untuk membuka akses bagi setiap kegiatan, sebagai stimulan bagi masyarakat agar mampu mandiri dalam meningkatan taraf hidup masyarakatnya. 

Jembatan yang dinamakan Jembatan Mahkota (Mahakam Kota) II karena merupakan jembatan kedua yang dibangun di wilayah Kota Samarinda setelah Jembatan Mahakam (atau Mahkota I). Jembatan Mahkota II lebih tepatnya terletak di atas Sungai Mahakam yang akan menghubungkan Kelurahan Sungai Kapih, Kecamatan Sambutan dengan Kelurahan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran di kota Samarinda (Pro Kaltim, 2016). Dalam pembangunannya, panjang jembatan ini direncanakan akan sepanjang 1.428 meter ini digadang-gadang akan menjadi jembatan yang terpanjang di Provinsi Kalimantan Timur (Pro Kaltim, 2015). Jembatan ini dirancang dengan tipe cable stayed, dimana menggunakan kabel sebagai penghubung jembatan dengan menara atau pondasi jembatan untuk menghasilkan jembatan dengan kekuatan penopang yang lebih kuat untuk memikul berat jembatan itu sendiri ataupun lalu lintas yang melewati jembatan tersebut.

Namun, pembangunan Jembatan Mahkota II ini tak seindah dan sekuat rencananya. Proyek pembangunan jembatan ini sudah direncakan dari tahun 2001 dan dimulai pengerjaan tahap I pada tahun 2003, akan tetapi sempat molor selama beberapa tahun hingga pengerjaannya masih berlangsung sampai tahun ini. Padahal kenyataannya Jembatan Mahkota II yang awalnya ditargetkan akan selesai pada tahun 2005. Mangkraknya pengerjaan proyek Jembatan Mahkota II disebabkan berbagai hal, mulai dari penghentian kucuran dan dari APBN, kesalahan transparansi dalam pengelolaan anggaran hingga pengalihan dana untuk proyek lain. Dari sebab-sebab tersebut, dapat disimpulkan bahwa mangkraknya pengerjaan proyek jembatan ini disebaban oleh adanya permasalahan dalam pembiayaan pembangunan jembatan.

Dari latar belakang tersebut, pembiayaan pembangunan pada Jembatan Mahkota II di Kota Samarinda perlu dikaji dan dianalisa lebih lanjut permasalahan pembiayaannya. Mulai dari sumber-sumber dana yang diterima, faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya pembangunan Jembatan Mahkota II hingga upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal pendanaan jembatan hingga dirampungkan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari critical review ini adalah
  1. Siapa saja stakeholeder yang terkait dalam pembiayaan pembangunan pada Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
  2. Darimana sumber pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
  3. Apa permasalahan atau kendala dalam pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
  4. Bagaimana strategi penyelesaian terkait permasalahan yang ada pada pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda?
1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan critical review ini adalah
  1. Mengetahui stakeholder yang terkait dalam pembiayaan pembangunan pada Jembatan Mahkota II Kota Samarinda
  2. Menganalisa sumber pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda
  3. Menganalisa permasalahan atau kendala dalam pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda
  4. Menganalisa strategi penyelesaian terkait permasalahan yang ada pada pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II di Kota Samarinda.

BAB II 

DASAR TEORI 

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pembiayaan Pembangunan

Menurut Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun berikutnya. Sedangkan Menurut Suparlan (1997) (dalam Aulia, 2015), pembangunan adalah serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal yang terwujud dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana mengubah cara-cara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih 

Adapun definisi pembiayaan pembangunan menurut Hyman (1993) (dalam Muawanah, 2013) Pembiayaan pembangunan adalah upaya-upaya pemerintah dalam rangka membiayai berbagai pengeluaran pemerintah sesuai fungsi yang diembannya terkait penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, dimana dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah terjadi melalui proses politik dengan berbagai prosedur dan aturan yang berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan pilihan masyarakat. 

2.1.2 Sumber-Sumber Pembiayaan Pembangunan 
Dalam memperoleh pembiayaan pembangunan, ada sumber-sumber pembiayan yang diperoleh. Berikut sumber pembiayaan pembangunan yang umum digunakan di Indonesia : 

1. APBN 
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. 

Struktur APBN yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia umumnya ada lima, yaitu pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus atau defisit anggaran dan pembiayaan. 

2. APBD 
Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan masa satu tahun anggaran. Adapun APBD terdiri atas: 
a. Anggaran pendapatan, yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain. Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus. Dan pendapatan lain-lain yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. 
b. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah. 
c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun anggaran berikutnya 

3. Hutang atau Pinjaman Daerah 
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pinjaman Daerah, pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Sumber pinjaman daerah berasal dari pemerintah pusat, Negara donor melaului pemerintah pusat (two step loan), pasar modal dan tabungan masyarakat. Pinjaman daerah dibutuhkan untuk membiayai berbagai kebutuhan dan penyediaan fasilitas. Dalam pinjaman daerah pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman pemerintah dan pemerintah daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi 60% dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. 

Dalam melakukan pinjaman, daerah wajib memenuhi persyaratan. Persyarataan Pinjaman daerah, meliputi : 

a. Jumlah sisa Pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; 
b. Rasio kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh pemerintah; 
c. Tidak mepunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersal dari pemerintah; 
d. Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain; 
e. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah; 
f. Proyek yang dibiayai dari Obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah.

2.1.3 Strategi Pembiayaan Pembangunan 

Dalam melaukan sebuah proyek besar, pemerintah tidak hanya dapat mengandalkan dana dari pusat maupun daerah, sehingga memerlukan bantuan dari pihak swasta baik dari segi pembiayaan hingga pengerjaan proyek. Menurut William J. Parente dari USAID (dalam Muawanah, 2013), Kerjasama Pemerintah dan Swasta adalah suatu persetujuan atau kontrak antara pemerintah dan swasta, di mana pihak swasta melakukan pekerjaan (proyek) pemerintah untuk jangka waktu tertentu, pihak swasta menerima kompensasi untuk melakukan pekerjaan (proyek) pemerintah secara langsung dan tidak langsung, pihak swasta bertanggung jawab atas risiko yang timbul dari melakukan pekerjaan (proyek) , serta fasilitas publik, tanah atau sumber lainnya dapat ditransfer atau tersedia untuk pihak swasta. 

2.2 Alasan Pemilihan Isu 

Cukup banyak hal yang menyebabkan saya untuk memilih isu pembiayaan pada proyek pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Proyek pembangunan Jembatan Mahkota II yang digadang-gadang akan menjadi jembatan terpanjang se-Kalimantan Timur ini merupakan proyek terlama yang terjadi di Kalimantan Timur. Pembangunan yang sudah direncanakan dari tahun 2001 ini memakan waktu yang sangat lama hingga tahun 2016 sekarang dari target penyelesaian awal yang direncanakan tahun 2005. Dari lamanya masa pembangunan, dapat diketahui hal yang menyebabkan permasalahan atau kendala dalam pembangunan Jembatan Mahkota II yang mayoritas adalah adanya masalah dalam pembiayaan pembangunan. Sehingga perlu dikajii dan dianalisa lebih lanjut dalam bentuk analisa critical review berikut.



BAB III 
PEMBAHASAN 

3.1 Analisa (Critical Review)
Proyek pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda mulai direncanakan oleh Pemerintah Kota Samarinda dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2001 karena kondisi Jembatan Mahakam (Mahkota I) yang telah mengalami penurunan kualitas akibat tiang penyangga jembatan yang beberapa kali ditabrak ponton batubara dan sudah termakan usia. Kekhawatiran Pemkot dan Pemprov pada rentannya Jembatan Mahakam yang dapat roboh sewaktu-waktu serta dapat menghambat lalu lintas di Samarinda inilah yang akhirnya menghasilkan Jembatan Mahkota II yang menghubungkan dua kecamatan di Samarinda. Proyek besar yang menghasilkan jembatan terpanjang di Kaltim ini dipercayakan pemerintah untuk dipegang oleh perusahaan konstruksi PT. Agrabudi Karyamarga, yang juga memiliki peran andil terbesar dalam penyelesaian proyek jembatan ini. Adapun dana pembangunan jembatan ditanggung bersama oleh APBD Pemkot, bantuan APBD dari Pemprov dan APBN dari pemerintah pusat. 

Pembangunan Jembatan Mahkota II memiliki tiga tahap. Tahap pertama yaitu pembangunan jembatan yang baru dilakukan pada tahun 2003, dua tahun sejak terciptanya rencana, yang dimulai dari pemancangan tiang pertama. Keterlambatan pembangunan tersebut salah satunya disebabkan kesalahan pada transparansi pengelolaan anggaran. Pada tahap pertama ini dibutuhkan dana sekitar Rp 353,74 miliar, tapi nyatanya tahap pertama menghabiskan dana sebesar Rp 385,92 miliar, lebih dari yang dianggarkan. Ditambah tidak sebanding dengan rencana penyelesaian yang ditargetkan akan selesai pada tahun 2005 dan molor hingga baru selesai pada tahun 2013 karena adanya kendala-kendala yang bermunculan. Proyek jembatan akhirnya sempat mangkrak beberapa tahun akibat tidak mendapat kucuran dana dari APBN. Hal itu dikarenakan adanya ketidakpastian dalam pembangunan jembatan seiring adanya rencana pemindahan Pelabuhan Samarinda dan dibangunnya Pelabuhan Peti Kemas Palaran. Dikhawatirkan, jika Mahkota II dilanjutkan, akan mengganggu lalu lintas pelayaran Sungai Mahakam. Pembiayaan proyek pembangunan Jembatan Mahkota II pun dialihkan oleh Pemkot untuk membangun Jembatan Mahulu (Mahakam Ulu) yang tidak mengganggu pelayaran menuju Pelabuhan Samarinda pada tahum 2005. Dimana alasan ini menurut saya pribadi terlihat seperti akal-akalan Pemkot yang ingin menggelontorkan APBD untuk main proyek. Padahal satu jembatan belum terselesaikan, akan tetapi mau dibangun jembatan lain dengan dana yang diberikan untuk pembiayaan Jembatan Mahkota II yang beralasan mangkrak. 

Setelah selesainya pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Palaran dan Jembatan Mahulu pada tahun 2009, proyek Jembatan Mahkota II dilanjutkan kembali pada tahun 2010 dengan didanai oleh APBD Kaltim Rp 50 miliar dan APBD Samarinda Rp 15 miliar. Namun, tetap tidak berjalan mulus karena masih sangat kurang dengan biaya konstruksi yang dibutuhkan. Dari sini bisa dilihat ketidakbecusan dan ketidakseriusan Pemkot dalam menjalankan proyek Jembatan Mahkota II. Ketidakseriusan Pemkot membangun proyek Jembatan Mahkota II tersebut juga bisa dilihat dari pengalokasian anggaran sejak 2003 hingga 2010 hanya Rp 73,419 miliar atau tak sebanding dengan alokasi yang disalurkan subsidi Pemprov Kaltim yang mencapai Rp 126,260 miliar. Meskipun proyek ini milik Pemkot Samarinda, justru peran andil pembiayaan lebih banyak dilakukan oleh Pemprov Kaltim. 

Tahap pertama pun akhirnya rampung pada tahun 2013, itupun belum benar-benar selesai dikarenakan pengerjaan pylon 7 dan 8 yang masih tersisa beberapa segmen yang dilanjutkan kembali pada tahap kedua ditahun yang sama. Pada tahap ini juga dilakukan pengerjaan pemasangan bentang tengah dan cable stayed serta tahap proses masa sanggah yang menyebabkan tahap kedua diundur beberapa bulan. Pada tahap kedua ini dilakukan lelang proyek kembali, akan tetapi disanggah dan akhirnya dimenangkan kembali oleh PT. Agrabudi Karyamarga. Pada tahap dua ini diperlukan Rp 215,36 miliar. Pada tahap ini Pemkot berstrategi untuk mengoptimalkan optimalkan anggaran di APBD sehingga mampu menyelesaikan pembangunan. Dana yang dialokasikan dalam APBD murni 2015 sebesar Rp 162,26 miliar. Kekurangan sekira Rp 51,1 miliar akan dialokasikan dalam APBD provinsi. Namun, kekurangan itu membengkak menjadi Rp 74,63 miliar. Biaya tersebut bertambah karena terjadi adendum perubahan desain pada struktur back stayed sebanyak Rp 21,53 miliar. Jadi, total biaya tahap dua membengkak menjadi Rp 236,89 miliar. 

Namun, sangat disayangkan kembali, dana yang membengkak tidak sebanding dengan penyelesaian jembatan yang direncanakan dapat berfungsi pada tahun 2015. Lagi-lagi proyek mengalami kemoloran. kedua bentang jembatan memang bisa tersambung di akhir tahun 2015. Namun sayangnya, tetap belum bisa dilewati masyarakat. Alasannya, ada evaluasi dari Kementrian PU dan pakar jembatan yang mengharuskan ada penguatan struktur agar aman digunakan. Dan penguatan struktur tersebut membutuhkan tambahan anggaran Rp 21 miliar. Maka dilakukakanlah tahap ketiga, yakni penguatan struktur jembatan 

Molornya pengerjaan Mahkota II disebabkan oleh kontraktor tidak professional. Indikasinya, selama hampir empat belas tahun, proyek yang dikerjakan PT Agrabudi Karyamarga belum juga rampung. Bahkan, sejak awal pemilihan kontraktor bermasalah, karena tak memiliki pendanaan yang cukup, bisa saja secara teknis kontraktor profesional. Tapi secara anggaran belum layak.Keitdakprofesionalan kontraktor pun kembali terungkap ketika tahap ketiga mulai direncanakan pada tahun yang sama, tahun 2015. Lelang proyek penguatan struktur kembali disanggah oleh PT Agrabudi Karyamarga dengan beralasan harus dikerjakan kontraktor lama. Jika kontraktor diganti, tentunya biaya akan membengkak karena akan dilakukan audit mulai dari awal dan akan ada biaya mobilisasi alat-alat kontraktor baru. Namun, lagi-lagi kontraktor tidak bisa menjamin proyek Jembatan Mahkota II tuntas dengan Rp 21 dan meminta anggaran lagi karena adanya keperluan lain berupa structural health bridge monitoring alias mesin untuk memantau kondisi jembatan seharga Rp 15 miliar. 

Permasalahan kontraktor ini menjadikan pelajaran bagi Pemkot untuk jeli dalam memilih kontraktor dalam mengerjakan proyek-proyek lainnya. Bila perlu, untuk proyek besar dikerjakan oleh gabungan beberapa kontraktor (konsorsium). 

Pada tahun ini, tahun 2016, sudah masuk tahap finalisasi. Pekerjaan tersisa yakni pemasangan trotoar, penangkal petir di atas tower jembatan, pengecatan, uji beban serta pemasangan structural health bridge. Pada tahap ini ditargetkan rampung dan sudah dapat difungsikan pada bulan November. Namun, Wali Kota Samarinda menginginkan peresmian dilakukan pada Januari tahun depan. Diharapkan Jembatan Mahkota II akan berfungsi sebagaimana mestinya dan terjamin kualitasnya sebanding dengan lamanya proses pengerjaan proyek yang dibutuhkan. 

Kendala lambatnya pembangunan infrastruktur terjadi karena kurangnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam pengelolaan proyek antara pemerintah dan pihak swasta. Tata kelola pemerintahan di Indonesia masih memiliki beberapa hal buruk, salah satunya dalam proyek Jembatan Mahkota II ini. Sudah seharusnya diperlukan pengadaan ketepatan waktu dalam pembiayaan, transparansi, standarisasi risiko kontrak, dukungan serta persetujuan besar dari pemerintah. 


BAB IV 
KESIMPULAN 

Berikut kesimpulan dari pembahasan critical review proyek pembangunan Jembatan Mahkota II Kota Samarinda, antara lain: 

1. Stakeholder yang terlibat dalam pembiayaan proyek pembangunan Jembatan Mahkota II ini adalah Pemerintah Kota Samarinda sebagai pemilik proyek dan pembiayaan dengan dibantu Pemerintah Provinsi Kaltim yang memiliki peran andil terbesar dan Pemerintah Pusat dalam hal penambahan anggaran pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II. Sealin itu dari pihak swasta ialah perusahaan konstruksi PT. Agrabudi Karyamarga sebagai pelaksana proyek atau kontraktor. 

2. Sumber dana pembiayaan pembangunan Jembatan Mahkota II ini berasal dari APBD Kota Samarinda, dengan bantuan dana yang besar dari APBD Provinsi Kalimantan Timur setiap tahunnya dan dari APBN yang beberapa kali cukup membantu meskipun tidak kembali dikucurkan beberapa tahun terakhir dengan total pembiayaan pembangunan Jembatan yang digunakan dari ketiga tahap secara keselurahan sebesar Rp. 658,81 miliar. 

3. Permasalahan atau kendala dalam pembangunan Jembatan Mahkota II antara lain proses pengerjaan jembatan yang membutuhkan waktu yang sangat lama, kesalahan tranparansi pengelolaan anggaran, dana APBN yang tidak dikucurkan kembali, adanya proyek lain yang dilakukan Pemkot berupa proyek pemindahan Pelabuhan Samarinda dan pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Palaran yang membutuhkan akses Sungai Mahakam, pengalihan pembiayaan yang diperuntukkan pada Jembatan Mahkota II oleh Pemkot untuk membiayai proyek jembatan lain yaitu Jembatan Mahulu, ketidakseriusan Pemkot dalam membiayai proyek Jembatan Mahkota II yang dibuktikan dengan sedikitnya pengalokasian anggaran, serta kurangnya pengelolaan proyek antara pemerintah dan pihak swasta sehingga menyebabkan ketidakprofesionalan perusahaan konstruksi PT Agrabudi Karyamarga dalam mengerjakan proyek Jembatan Mahkota II. Strategi dalam pembangunan Jembatan Mahkota II yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta, yaitu perusahaan konstruksi PT Agrabudi Karyamarga serta mengoptimalisasi anggaran di APBD murni, dimana keduanya tidak terealisasikan secara sempurna dalam menyelesaikan proyek. Adapun solusi untuk proyek kedepannya sebaiknya dikerjakan oleh gabungan beberapa kontraktor (konsorsium), pengadaan ketepatan waktu dalam pembiayaan, transparansi, standarisasi risiko kontrak, dukungan serta persetujuan besar dari pemerintah. 

4. Strategi dalam pembangunan Jembatan Mahkota II yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta, yaitu perusahaan konstruksi PT Agrabudi Karyamarga serta mengoptimalisasi anggaran di APBD murni, dimana keduanya tidak terealisasikan secara sempurna dalam menyelesaikan proyek. Adapun solusi untuk proyek kedepannya sebaiknya dikerjakan oleh gabungan beberapa kontraktor (konsorsium), pengadaan ketepatan waktu dalam pembiayaan, transparansi, standarisasi risiko kontrak, dukungan serta persetujuan besar dari pemerintah.